kpk tegaskan kewenangan soal korupsi bumn

KPK Tegaskan Kewenangan Soal Korupsi BUMN Meski Ada UU Baru

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto memberikan keterangan kepada media terkait dengan proses penyidikan kasus korupsi di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yang dilakukan secara tertutup oleh keenam tersangka di gedung KPK, Jakarta, Minggu, 16 Maret 2025.

Jakarta . Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikukuh tetap memiliki kewenangan penuh untuk mengusut dan mengadili kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan dan pengawas badan usaha milik negara (BUMN), kendati ada peraturan perundang-undangan baru yang diyakini sejumlah pihak akan mempersempit kewenangan lembaga tersebut.

Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan lembaganya masih memperlakukan direksi dan komisaris BUMN sebagai pejabat publik menurut undang-undang, sehingga mereka menjadi sasaran penyidikan antikorupsi. Pernyataannya itu menanggapi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara yang baru saja disahkan, yang memuat ketentuan yang menurut para kritikus dapat membatasi pengawasan KPK terhadap BUMN.

“KPK berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi, komisaris, dan pengawas BUMN. Dalam konteks hukum pidana, mereka tetap dianggap sebagai pejabat publik, dan kerugian keuangan yang dialami BUMN dianggap sebagai kerugian negara apabila perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran Business Judgment Rule (BJR),” kata Setyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu.

Anggota Direksi BUMN Masih Dianggap Pejabat Publik

Setyo menggugat Pasal 9G UU BUMN yang baru, yang menegaskan bahwa anggota direksi BUMN tidak termasuk pejabat negara. Ia berpendapat ketentuan ini bertentangan dengan definisi hukum yang lebih luas yang terdapat dalam UU No. 28/1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, yang secara tegas memasukkan pejabat BUMN dalam lingkup jabatan publik.

“UU No. 28/1999 merupakan UU khusus tata usaha negara yang mengatur pejabat publik, yang bertujuan untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. UU ini tetap menjadi acuan yang tepat ketika menangani kasus korupsi yang melibatkan pimpinan BUMN,” katanya.

Ia pun merujuk pada catatan penjelasan dalam Pasal 9G yang menegaskan bahwa pengangkatan anggota direksi BUMN sebagai pejabat nonpublik tidak serta merta menggugurkan kewajibannya berdasarkan undang-undang antikorupsi.

Atas dasar itu, Setyo menegaskan kembali bahwa direksi, komisaris, dan pengawas BUMN tetap diwajibkan menyampaikan deklarasi harta kekayaan dan melaporkan segala bentuk gratifikasi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang antikorupsi.

Setyo juga menepis anggapan bahwa kerugian BUMN terpisah dari kerugian negara. Meski Pasal 4B UU BUMN menyatakan kerugian BUMN bukan merupakan kerugian keuangan negara, Setyo merujuk pada sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan hal sebaliknya.

Ia mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013, Nomor 62/PUU-XI/2013, Nomor 59/PUU-XVI/2018, dan Nomor 26/PUU-XIX/2021 yang menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan, seperti modal pada BUMN, tetap menjadi bagian keuangan negara berdasarkan konstitusi Indonesia.

“Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dengan tegas bahwa keuangan negara yang dipisahkan tetap dianggap sebagai keuangan negara. Penafsiran ini mengikat secara konstitusional dan tidak boleh dikesampingkan oleh ketentuan perundang-undangan,” kata Setyo.

Ia menambahkan, pejabat BUMN dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila kerugian keuangan negara terjadi akibat perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran business judgement rule, atau perbuatan curang seperti penyuapan, benturan kepentingan, itikad buruk, atau kelalaian dalam mencegah kerugian keuangan negara.

Setyo menyimpulkan bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN sangat penting untuk memastikan tata kelola perusahaan yang baik dan mencapai tujuan yang lebih luas, yaitu mengelola BUMN untuk kepentingan publik.

“Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di BUMN sangat penting untuk mendorong transparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini membantu memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut menjalankan amanahnya untuk memajukan kemakmuran rakyat,” katanya.

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *